PERDA ATAU UU PENYAKIT SOSIAL
I. PENDAHULUAN
a. Penyakit Masyarakat
Salah satu bentuk konkrit dari ketidak merataannya
pembangunan di tengah masyarakat adalah timbulnya beragam penyakit sosial atau
penyimpangan sosial (deviasi sosial). Salah satu sumber mendefinisikan penyakit
sosial (deviasi sosial) sebagai suatu bentuk prilaku (perbuatan) yang tidak
sesuai dengan kaidah dan norma yang hidup tumbuh berkembang di lingkungan
masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut, secara implisit dapat kita artikan
bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan norma yang selama ini menjadi
kearifan lokal dan diakui sebagai pengendali tingkah laku manusia adalah suatu
gejala sosial yang dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit masyarakat.
Persoalan penyakit sosial juga erat kaitannya dengan permasalahan
pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Jika dikaji lebih subyektif, banyak
bentuk penyakit sosial yang melanggar hak asasi manusia yang merupakan hak
dasar yang dimiliki oleh manusia sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 26,
Pasal 27, Pasal 28, Pasal 28 A- Pasal 28 J, Pasal 29, Pasal 31, Pasal 33 dan
Pasal 34 UUD NRI Tahun 1945. Secara lebih rinci persinggungan dengan Hak Asasi
Manusia sebagai akibat dari munculnya penyakit sosial juga terdapat pada
substansi pasal per pasal Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
Telah cukup jelas bahwa pada hakikatnya penyakit sosial ternyata memiliki
keterkaitan yang erat dengan norma-norma yang ada di masyarakat. Penentangan
terhadap norma-norma sekaligus nilai-nilai yang hidup, tumbuh kembang di
masyarakat merupakan suatu bentuk awal dari timbulnya berbagai penyakit sosial.
Semakin variasinya jenis, akibat, dan dampak dari munculnya penyakit sosial
maka akan semakin kuat juga komitmen masyarakat untuk memperbaiki dan
mempertegas norma-norma dan hukum yang diakui pada masyarakat. Bahkan, tidak
jarang untuk mengantisipasi penyakit sosial tersebut, masyarakat membuat
kaidah-kaidah sendiri. Hal tersebut merupakan suatu bentuk konklusi keinginan
masyarakat yang tidak ingin lingkungannya terancam dengan adanya penyakit
sosial.
b.
Peraturan Daerah
Pemerintah daerah merupakan penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah
yang menganut asas otonom dan tugas pembantuan dengan pemberian prinsip ekonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Unsur-unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah terdiri dari
Gubernur, Bupati, atau Walikota, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan perangkat
daerah. Cukup menarik dan akan menjadi bahan kajian dalam penulisan
makalah ini adalah menenai Peraturan Daerah (Perda) yang merupakan salah satu
produk hukum sekaligus produk politik yang dihasilkan pemerintahan daerah.
Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah bahwa Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut dengan Perda terdiri
dari peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kota. Mekanisme
disahkannya suatu Peraturan Daerah adalah melalui penetapan kepala daerah
setelah sebelumnya disetujui bersama antara Kepala Pemerintahan Daerah dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terkait. Sebagaimana sifat atributifnya,
seperti Undang-Undang, Peraturan Daerah juga diberikan kewenangan untuk memuat
ancaman denda, pidana, dan kurungan namun bersifat limitatif, terhadap denda
paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan ancaman
pidana tidak boleh lebih dari 6 (enam) bulan penjara.
Pengaturan yuridis yang berkaitan dengan peraturan daerah mulai dari
definisi, substansi atau materi hingga tahapan pengundangan dan penyebarluasan
tertuang dalam peraturan-peraturan berikut, yaitu :
1. Pasal
18 ayar (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
3. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; dan
4. Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2007 tentang Pengesahan,
Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-Undangan.
Secara yuridis formal, eksistensi dari Peraturan Daerah disebutkan
pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yaitu :
1. Undang-Undang
Dasar 1945;
2. Ketetapan
Majelis Pemusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang
dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan
Pemerintah;
5. Peraturan
Presiden;
6. Peraturan
Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan daerah yang baik adalah peraturan daerah yang dapat menjamin,
melindungi, mengakomodir kebutuhan masyarakat, dan mampu menjawab hambatan yang
ditemui oleh masyarakat sekaligus mampu menunjang jalannya penyelenggaraan
pemerintah daerah baik secara ekonomis maupun politis. Oleh karena itu,
idealnya suatu peraturan daerah harus dapat menyesuaikan diri dengan dinamika
sosial sehingga suatu peraturan daerah dapat bertahan lama dan dapat menjadi
salah satu regulasi sentral yang akan benar-benar melekat dalam setiap individu
di masyarakat.
II. PEMBAHASAN
a. Kesimpulan
Fenomena maraknya peraturan daerah yang diterbitkan oleh setiap pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten atau kota di Indonesia pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ternyata cukup meyakinkan publik bahwa peraturan daerah punya tendensi yang kuat untuk menjawab kebutuhan konkrit dan faktual masyarakat. Padahal sebelumnya, segolongan masyarakat dan sebagian perangkat daerah nyaris frustasi dengan penerapan sistem sentralisasi yang dalam prakteknya banyak menimbulkan ketimpangan dan permasalahan sosial di daerah. Harus diakui bahwa peraturan daerah di era kekinian secara implisit telah memberikan suatu imunitas khusus bagi daerah untuk menjalankan pemerintahnnya sendiri. Suatu “angin segar” bagi kemajuan daerah.
Pada umumnya, tidak sedikit pemerintah daerah yang meregulasikan berbagai permasalahan penyakit sosial di masyarakat-nya dalam bentuk peraturan daerah. Masalah ini menjadi menarik jika menilik bahwa kemungkinan penyebab diangkatnya permasalahan penyakit sosial dalam banyak peraturan daerah dikarenakan suatu kebutuhan mendesak suatu masyarakat lokal, adanya karakteristik khusus suatu daerah, atau bahkan sebagai bentuk campur tangan dan kepentingan politik kekuasaan. Terebih lagi, apabila dikomparasikan dengan kaidah-kaidah hukum yang secara substansi belum sepenuhnya diatur dalam hukum positif, ternyata bisa diatur oleh peraturan daerah. Suatu nilai positif terhadap eksistensi peraturan daerah.
Pada hakikatnya, suatu peraturan daerah merupakan peraturan yang dibuat atas persetujuan bersama antara Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang tentu lebih memahami kondisi riil masyarakat dan daerahnya daripada pemerintah pusat. Pemahaman terhadap kondisi riil tersebut tentu akan lebih efisien dan efektif hasilnya bagi masyarakat dan pemerintah daerah apabila telah dilakukan pengkajian yang sistematis dan ilmiah terhadap peta permaslaahan sosial di masyarakat. Beberapa bentuk dan kerakteristik tema yang berbeda dari peraturan daerah adalah sebagai beriktu :
a. Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penanggulangan Pelacuran ;
b. Peraturan Daerah Kota Sambas Nomor 3 Tahun 2004 tentang Larangan Pelacuran dan Pornografi;
c. Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Susila; dan
d. Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 8 Tahun 2007 tentang Pelarangan Pengedaran, Penjualan dan Penggunaan Minuman Beralkohol.
Untuk menentukan apakah suatu peraturan daerah memang dapat mengangkat tema yang berkaitan dengan penyakit sosial tidak bisa dilakukan dengan membatasi pemahaman substansi secara kausalitas. Pemahaman ini diperlukan karena penyakit sosial merupakan abstraksi yang memiliki makna bias dalam pendefinisiannya. Sebagaimana diketahui, bahwa ada banyak karakteristik penyakit sosial yang bisa diakomodir dalam suatu peraturan daerah. Tentu saja, perlakuan terhadap suatu karakteristik peraturan daerah semisal mengenai larangan meminum minuman beralkohol di suatu daerah, tentu akan berbeda atau belum tentu diterima oleh kondisi di daerah lain. Perbedaan perspektif suatu masyarakat di suatu daerah tentu juga akan menjadi suatu diferensial tersendiri. Boleh saja suatu daerah menganggap bahwa minuman beralkohol adalah suatu kebiasaan (eninformentable) yang mengakar di lingkungan masyarakat di suatu daerah namun belum tentu kondisi tersebut dapat diterima oleh kondisi masyarakat daerah lain. Pada prinsipnya, kondisi tersebut terjadi dapat disebabkan tingkat kereligiusan suatu daerah atau faktor lainnya.
Beberapa pengaturan dalam peraturan daerah in casu telah diatur oleh peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang. Beberapa penyakit sosial seperti meminum minuman beralkohol, kenakalan remaja yang mengakibatkan bentrok fisik, atau permasalahan pornografi, dan lainnya telah diatur oleh Undang-Undang. Permasalahan tersebut bahkan secara yuridis formal pada dasarnya merambah ranah pidana dan perdata. Pengaturan mengenai kenakalan remaja seperti maraknya bentrok fisik sebetulnya telah diatur dalam hukum pidana khusus (ius specialis) yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 03 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Begitu juga dengan permasalahan pornografi di suatu daerah, sebetulnya sudah diatur oleh Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Pada dasarnya, penyakit sosial merupakan penyakit bangsa yang tentu pegaturannya tidak cukup hanya diakomodir oleh suatu peraturan daerah. Timbulnya penyakit sosial di masyarakat adalah tanggung jawab pemerintah dalam segi luas sebagai tiang penyelenggara negara. Persoalan seperti kebiasaaan meminum minuman beralkohol, kenakalan remaja, maraknya pornografi, bahkan budaya korupsi tentu harus dipandang sebagai persoalan besar yang menjadi tanggung jawab negara dan tidak cukup untuk diatur dalam peraturan daerah. Memang, dalam prakteknya peraturan daerah banyak sekali yang mengangkat persoalan sosial konkrit yang ada di masyarakat. Namun. kita harus menyadari bahwa tidak semua peraturan daerah dapat berjalan dengan konsisten mengingat perbedaan karakteristik di setiap daerah sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kontradiksi dalam setiap tahapan pengundangan hingga pemberlakuannya peraturan daerah.
III. KESIMPULAN DAN SARANa. Kesimpulan
Peraturan daerah yang merupakan produk hukum daerah sebagai hasil
persetujuan politis antara Pemerintah Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah memiliki sifat atributif untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan di
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan tersebut
memberikan koridor kewenangan yang cukup luas bagi pemerintah daerah untuk
mengatur kehidupan dan segi tingkah laku sesuai dengan karakteristik masyarakat
lokal termasuk mengatasi penyakit sosial. Namun, ternyata tidak semua penyakit
sosial dapat diatur oleh peraturan daerah. Hal tersebut diakibatkan beberapa
faktor berikut, yaitu :
1. Proses
akulturasi budaya antara masing-masing daerah;
2. Secara
substantif telah diatur oleh peraturan yang lebih tinggi; dan
3. Sejumlah
penyakit sosial yang merupakan permasalahan hukum kebangsaan.
b. Saran
Jadilah sumber pelengkap (fakultatief) para
Perancang Peraturan Perudang-Undangan agar dapat mencermati dengan lebih
substansif terhadap muatan materi peraturan daerah agar tidak menabrak aturan
yang lebih tinggi dan merupakan permasalahan sosial yang bersifat lokal
sehingga dapat berdaya laku efektif di masyarakat.
Komentar
Posting Komentar